Market Watch

Economic Calendar

Selasa, 27 Mei 2008

Bagaimanakah Krisis Minyak Mempengaruhi USD?


Harga minyak dunia melambung dan USD terpuruk, namun apakah ini merupakan hubungan sebab akibat yang “natural” di antara keduanya? Saya melakukan studi tentang hubungan antara minyak dengan the greenback, dan jika melihat pada kilas balik dua kali krisis minyak yang terjadi empat dekade yang lalu (1973 dan 1979), sepertinya hal itu tidak sepenuhnya benar.

Krisis Minyak Tahun 1973: Awalnya Dollar Bullish, Pada Akhirnya Bearish

Pada tahun 1973, harga minyak “terbang” sejauh 134% ketika anggota OAPEC (yaitu OPEC plus Mesir dan Syria), mengumumkan bahwa mereka tidak akan mau lagi mengekspor minyak ke negara-negara yang mendukung Israle dalam konflik antara Israel dengan Syria dan Mesir. Praktis hal ini menutup pintu ekspor ke Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Akibatnya, harga minyak naik secara signifikan karena pengurangan yang tajam terhadap suplai minyak. Di saat yang sama, Arab Saudi, Iran, Irak, Abu Dhabi, Kuwait, dan Qatar secara bersama-sama menaikkan harga minyak sebesar 17 persen dan mengumumkan pengurangan produksi setelah melakukan negosiasi dengan beberapa perusahaan minyak yang besar.

Respon awal terhadap kejutan harga minyak ini ditandai dengan naiknya indeks dollar (berdasarkan data indeks dollar dan harga minyak dari Federal Reserve negara bagian St Louis, lihat gambar), yang juga menguat terhadap mata uang utama lainnya, namun tidak lama kemudian dollar dijual kembali dalam skala besar. Saat itu Federal Reserve tengah berjuang memerangi tekanan inflasi dengan senjata andalan mereka: yaitu menaikkan suku bunga. Lonjakan harga minyak dunia memicu the Fed untuk menaikkan lagi tingkat suku bunganya, dan memaksa the Fed untuk menaikkan Fed Funds Target dari 7,5 persen di bulan Mei 1973 hingga menjadi 13 persen pada musim panas 1974. Fokus pada inflasi pada mulanya memberikan sentimen bullish pada dollar, namun segera setelah peningkatan suku bunga mulai memberikan dampak yang serius terhadap pertumbuhan ekonomi AS, tren dollar menjadi bearish. Antara kuartal ke tiga tahun 1973 dan kuartal pertama tahun 1975, pertumbuhan GDP menyusut selama lima dari tujuh kuartal, dan sebagai respon atas memburuknya pertumbuhan tersebut, the greenback melemah.

Krisis Minyak tahun 1979: Awalnya Dollar Bullish, Pada Akhirnya Bearish

Krisis minyak ke dua yang dialami Amerika Serikat pada tahun 1979 dipicu oleh revolusi di Iran dan diperparah oleh kurangnya persediaan bensin. OPEC menaikkan harga minyak hingga 14,5 persen pada tanggal 1 April 1979. Tidak lama kemudian, OPEC menaikkan lagi harga minyak untuk kedua kalinya sebesar 15 persen, Amerika Serikat menghentikan impor minyak dari Iran, sementara Kuwait, Iran dan Libya menghentikan produksinya. Arab Saudi juga pada akhirnya menaikkan harga pasaran minyak mentah mereka menjadi $24 per barel. Akibat semua faktor tersebut, harga minyak mentah dunia meningkat sebesar 118 persen dalam rentang waktu antara Januari hingga Desember 1979.

Efek terhadap the greenback waktu itu dengan seperti yang terjadi pada krisis minyak tahun 1973; pada mulanya mengalami rally, lalu kemudian melemah. Pada saat itu, the Fed juga sedang giat-giatnya menaikkan suku bunga untuk mengendalikan tekanan inflasi. Antara bulan Januari hingga Desember 1979, suku bunga naik dari 10 persen ke 14 persen, dan pada bulan Maret 1980, Fed Fund Rate mencetak rekor tertinggi sebesar 20%. Pertumbuhan GDP per kuartal jatuh 7,8 persen pada kuartal ke dua tahun 1980, memicu kejatuhan dollar.

Kenaikan Harga Minyak tahun 1990: Dollar Terus Melemah

Sepanjang rentang waktu antara Juni dan Oktober 1990, harga minyak juga melonjak sebesar 113 persen akibat Perang Teluk. Yang menarik adalah bahwa “kelakuan” saat itu USD sangat berbeda dibandingkan dua krisis minyak sebelumnya. Hal ini disebabkan paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena karakteristik harga minyak yang bersifat “sementara”, di mana harga mulai jatuh enam bulan setelah mengalami kenaikan.

Ke dua, disebabkan oleh siklus kebijakan moneter the Fed. Tidak seperti pada krisis tahun 1973 dan 1979, pada tahun 1990 the Fed mulai memotong suku bunga sebelum lonjakan harga minyak terjadi, dan pemotongan suku bunga terus berlanjut selama tahun 1990 hingga 1991. Dollar berada dalam downtrend karena kebijakan moneter yang longgar. Pelemahan berlanjut seiring dengan pelambatan pertumbuhan yang ditandai dengan stagnannya GDP di kuartal ke tiga tahun 1990, dan selanjutnya jatuh sebesar 3 dan 2 persen di dua kuartal berikutnya.

Bagaimana Dengan Kenaikan Harga Minyak Tahun 2007 dan 2008?

Peristiwa naiknya harga minyak sepanjang tahun 2007 dan 2008 dan efeknya terhadap USD lebih kurang mirip dengan kejadian tahun 1990. Oleh karena itu menjadi lebih mudah untuk memahami mengapa the greenback terus mengalami pelemahan, meskipun tekanan inflasi meningkat.

Seperti yang telah kita ketahui, the Fed telah terus-menerus melakukan pemotongan suku bunga, dan faktor inilah yang lebih mendominasi pelemahan USD. Jadi, jika merujuk pada kejadian tahun 1973 dan 1979, harga minyak bukanlah merupakan faktor dominan pelemahan the greenback. Pada dasarnya pasar telah yakin bahwa the Fed tidak akan menaikkan suku bunga – dan pasar melihat ada alasan yang bagus untuk itu, karena berdasarkan pengalaman dari 3 kejadian sebelumnya (lonjakan harga minyak), pertumbuhan di kuartal berikutnya seharusnya mengalami penyusutan. Pada tahun 1990-an, the Fed berhenti melakukan pemotongan suku bunga seperti yang mereka perkirakan pada bulan Juni, namun ternyata kemudian mereka kembali meneruskan pemotongan suku bunga karena pelambatan ekonomi. Tentu saja, suku bunga waktu itu jauh lebih tinggi daripada saat ini, namun jika pertumbuhan tak kunjung meningkat, bayang-bayang pemotongan suku bunga masih belum akan sirna.

(Eko Trijuni, dari berbagai sumber)

0 komentar: