Market Watch

Economic Calendar

Senin, 06 April 2009

G-20, menuju tata ekonomi dunia baru?



Tanggal 2 April 2009 mungkin akan ditulis dalam sejarah dunia sebagai hari di mana tata ekonomi dunia baru coba dirumuskan. Ruang-ruang di Excel Centre, Dockland, London, pada hari musim semi yang cerah, menjadi saksi bagaimana argumentasi demi argumentasi disampaikan oleh kepala negara 20 ekonomi terbesar dunia, termasuk Indonesia.

Tujuannya satu, yaitu menghadapi krisis keuangan global. Prosesnya memang tidak mudah. Sebagian negara Eropa, misalnya, berpandangan tentang perlunya penekanan pada regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan global, baik soal standar akuntansi dan keterbukaan maupun soal tax heaven sampai dibutuhkannya Financial Stability Board.

Di sisi lain, sebagian anggota G-20 menekankan soal perlunya fokus pada upaya stimulus dengan counter cyclical policy dan soal peran negara berkembang dan komitmen terhadap masalah kemiskinan dan negara miskin. Bagaimana menarik garis keseimbangan di sini?

Barangkali itulah mood yang muncul dalam working breakfast, plenary, working lunch, dan sesi penutup. Hari itu dunia menunggu apakah pertemuan 20 negara ekonomi terbesar dunia ini datang dengan suatu konsensus yang dapat mengembalikan kepercayaan dunia.

Masih ada pertanyaan yang tersisa memang soal bagaimana mekanisme koordinasi makro global diatur. Atau persoalan bagaimana implementasi kesepakatan global di tingkat nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menawarkan sebuah jalan tengah. Soalnya, bukan dikotomi antara stimulus dan regulasi. Dunia jelas membutuhkan keduanya.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa krisis keuangan global disebabkan oleh bolongnya aturan sektor keuangan. Oleh karena itu, isu ini harus dijawab.

Namun, di sisi lain kita tidak bisa membiarkan kecenderungan untuk terus berkutat dengan regulasi, sementara pertumbuhan ekonomi dunia terus meluncur ke bawah dan diprediksikan mengalami pertumbuhan minus 0,5% sampai minus 1,5% pada tahun ini.

Itu sebabnya kita perlu counter cyclical policy. Kita perlu upaya penguatan sistem keuangan dan reformasi dalam lembaga keuangan internasional.

Adanya mismatch

Dari sini saja kita melihat ada sebuah langkah koreksi terhadap tata ekonomi dunia. Krisis yang terjadi menunjukkan adanya mismatch atau ketidakcocokan antara global event di satu sisi dan aturan di tingkat nasional.

Produk keuangan, misalnya, telah melampaui batas-batas negara. Satu produk keuangan di AS bisa dinikmati sekaligus membawa petaka di pelbagai belahan bumi lain.

Sementara itu, regulasi yang ada cenderung dan terbatas pada skala nasional. Lalu apakah kita membutuhkan sebuah tata aturan global?

Jika ya, itu jelas tidak bisa dilakukan hanya pada level nasional. Ia harus merujuk pada sebuah solusi multilateral.

Namun, jika itu dilakukan, bukankah lokalitas setiap negara berbeda. Tidak bisa dibuat sebuah regulasi yang sifatnya one size fits all.

Apakah ini tidak berakhir dengan sebuah kecenderungan micromanage atau upaya masuk mengatur sampai hal-hal kecil? Mampukah?

Oleh karena itu, harus ada titik temu di sini. Tidak bisa dihindarkan, dalam solusi ini, lembaga multilateral dan institusi keuangan dunia harus diperkuat.

Persoalannya, apakah institusi keuangan dunia yang ada sudah cukup mampu? Apakah memiliki sumber daya yang cukup dan apakah cukup adil merepresentasikan berbagai kepentingan negara di dunia ini? Misalnya, apakah ia juga mampu mewakili kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia?

Presiden Yudhoyono menyampaikan pandangan Indonesia mengenai pentingnya counter cyclical policy. Negara berkembang, seperti Indonesia, sampai dengan September 2008 praktis tumbuh relatif tinggi. Sampai dengan triwulan III/2008, ekonomi Indonesia masih tumbuh 6,4%.

Namun, krisis keuangan global telah membawa dampak yang dalam bagi negara berkembang. Indonesia sebenarnya merupakan satu dari sedikit negara yang diperkirakan masih mengalami pertumbuhan positif.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian mulai melambat. Untuk itu, sisi permintaan, seperti resep Keynes lebih dari 70 tahun lalu, harus didorong. Ini harus dilakukan pada level global.

Krisis global membutuhkan solusi global, demikian kalimat dalam komunike. Hanya dengan ini, pertumbuhan ekonomi dunia yang meluncur tajam dapat diminimalisasi.

Bersifat temporer

Di sisi lain, stimulus fiskal juga harus bersifat temporer. Jika ia dilakukan secara permanen, kesinambungan fiskal akan terganggu.

Persoalannya tidak semua negara, terutama negara berkembang, memiliki kemampuan untuk membiayai stimulusnya. Dalam situasi krisis keuangan global, akses terhadap pasar keuangan praktis tertutup.

Kalaupun terbuka, harganya sangat mahal. Di sini usulan Indonesia agar dibentuk global expenditure support fund diadopsi.

Negara anggota G-20 sepakat mengguyurkan dana sedikitnya US$100 miliar melalui bank pembangunan multilateral untuk membantu dukungan budget negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain itu, disediakan trade financing sebesar US$250 miliar untuk mengembalikan perdagangan global.

Jika perdagangan global tidak kembali, proses pemulihan ekonomi, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia, praktis akan terhambat, karena ekspor tidak tumbuh. Oleh karena itu, proteksionisme harus dicegah.

Sejarah pada 1930-an menunjukkan bahwa sebagai akibat dari resesi ekonomi dunia, negara-negara kemudian berubah menjadi proteksionis. Ini akhirnya membawa dunia ke dalam situasi depresi besar yang jauh lebih parah.

G-20 juga sepakat menyediakan alokasi dana yang lebih besar kepada IMF. Resources ini dapat digunakan untuk membantu persoalan neraca pembayaran.

Meksiko, seperti yang disebut dalam komunike, memutuskan untuk memanfaatkan skema Flexible Credit Line ini. Menariknya, dukungan ini sekarang dilakukan tanpa conditionalities atau persyaratan.

Kita mengetahui bahwa persyaratan IMF yang ketat telah menimbulkan trauma dan stigma di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Apa gunanya sumber daya diberikan kepada IMF jika dananya akhirnya tidak bisa dimanfaatkan, karena persoalan stigma?

Oleh karena itu, reformasi dalam IMF harus terus dilakukan. Ini mencakup soal voting rights, bantuan tanpa persyaratan, dan soal pemilihan posisi senior dalam lembaga keuangan internasional tersebut.

Bukan rahasia lagi bahwa selama ini Bank Dunia cenderung dipimpin oleh Amerika Serikat dan IMF oleh Eropa.

Satu hal yang saya pikir cukup radikal dalam kesepakatan G-20 adalah bahwa seleksi pimpinan lembaga keuangan internasional akan dilakukan berdasarkan sistem terbuka dan kemampuan.

Di sini pentingnya reformasi dalam institusi keuangan internasional.

Lalu segera berakhirkah krisis keuangan global? Masih ada soal jangka pendek yang tampaknya harus diselesaikan.

Restore lending

Stimulus fiskal yang tidak didukung oleh upaya mengembalikan transmisi moneter melalui pinjaman bank kepada sektor riil tidak akan berarti apa-apa. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk restore lending.

0 komentar: