Market Watch

Economic Calendar

Senin, 13 April 2009

Produk multilateral masih menarik?
Pajak derivatif uji bursa komoditas

Entah pertanda apa yang ditunjukkan dari penurunan volume transaksi produk multilateral di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) selama 3 bulan pertama tahun ini.

Ada yang berpikir perkembangan itu, akibat krisis keuangan global, di mana investor cenderung menahan diri untuk berinvestasi di transaksi derivatif.

Selain itu, berbagai pelanggaran akibat ulah pialang nakal yang menggunakan jasa tenaga marketing untuk menarik nasabah dengan sejuta janji keuntungan besar dan penggunaan dana nasabah untuk kepentingan pribadi bisa juga dijadikan alasan menciutnya minat investor untuk menjajal bertransaksi di bursa berjangka.

Namun, benarkah demikian alasannya atau ada faktor pemicu yang lain? Beberapa masalah yang sering muncul dalam transaksi produk multilateral di BBJ di antaranya menarik atau tidaknya produk itu, komisi, ragam produk, dan besaran margin yang harus disetorkan hingga sistem menjadi ukurannya.

Sejumlah masalah itu sering diperdebatkan dan BBJ tentunya tidak mau dipersalahkan karena setiap produk yang dirilis ke pasar dinilai sudah melalui proses pengkajian panjang dan berdasarkan animo pasar terhadap produk tersebut.

Contoh yang paling nyata misalnya kontrak gulir emas dalam denominasi dolar AS (KGE-USD) yang diluncurkan pada 10 Desember 2008 dalam balutan pesta 'keemasan' yang meriah di ballroom Hotel Shangri-La. BBJ berharap produk itu dapat menarik lebih banyak dana ke bursa.

Setelah sebulan meluncur ke pasar, transaksi produk KGE-USD berdasarkan laporan BBJ ternyata masih menunjukkan zero transaction alias tidak ada transaksi.

Harapan mulai terjalin ketika transaksi produk KGE-USD muncul pada Februari sampai dengan Maret yaitu dari 63 transaksi menjadi 81 transaksi. Bahkan dari jumlah transaksi pada Maret, tercatat enam posisi terbuka (open interest) dilakukan investor.

Pengaruh pajak

Volume transaksi multilateral itu semakin tak sebanding jika disandingkan dengan perdagangan produk di luar bursa (over the counter) yang dikenal dengan sistem perdagangan alternatif (SPA).

Pada kuartal I/2009, SPA mencatatkan ratusan ribu transaksi dan mencapai puncak pada Maret. Lonjakan transaksi SPA itu sempat diprediksi sebelumnya, terutama setelah penerbitan peraturan pemerintah (PP) tentang pengenaan pajak transaksi derivatif.

Pengenaan pajak penghasilan sebesar 2,5% dari margin awal terhadap pelaku perdagangan berjangka yang berlaku surut sejak 1 Januari itu menimbulkan polemik karena dianggap bisa mematikan transaksi di bursa berjangka.

Dari hasil pembicaraan dengan seorang konsultan investasi, pengenaan pajak itu bisa membuat produk multilateral BBJ semakin tak menarik. Apalagi produk lain di luar BBJ menjanjikan insentif yang lebih banyak, mulai dari bebas komisi, spread yang lebih kecil yaitu sekitar dua (di Indonesia mulai ada yang menawarkan spread mulai 3) dan bebas dari masalah perpajakan.

Transaksi on-line via Internet juga memungkinkan investor untuk leluasa mengakses sejumlah produk di luar BBJ yang saat ini masih harus ditransaksikan melalui kantor pialang karena belum menawarkan koneksi sistem 'seketika'.

Sangat disayangkan jika harus melihat dana itu lari keluar. Hal itu juga berarti pemerintah mesti rela, dana tersebut dinikmati broker yang belum tentu jelas di mana letak kantornya. Penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah dari bursa komoditas itu terancam luput dari sasaran.

Padahal potensi komoditas di Indonesia sangat luar biasa. (nana.oktavia@bisnis.co.id)

0 komentar: